Dalam berhubungan dengan sesama manusia, sering kita merasa tidak dihormati, merasa tidak di hargai, atau bahkan merasa dirugikan. Berpikiran possitif terhadap suatu kejadian merupakan perbuatan yang jauh lebih baik dan akan mendapat pahala, saya selalu ingat Alloh tidak tidur dan Alloh Maha Mengetahui. Berpikirlah positif karena "semua sudah di atur oleh Alloh SWT". Berperangka Baik atau sering kita sebut dengan istilah Husnudzon adalah suatu kajian aqida akhlak Islam yang selalu dianjurkan bahkan diwajibkan kepada kita sebagai seorang muslim sebagaimana firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.”
[Q.S Al-Hujurat: 12]
Berperasangka baik bertitik berat pada hati dan pikiran kita, memerlukan
kesabaran dan keimanan yang baik. Seseorang yang ditimpa musibah,
sedang berada dalam kesedihan atau sebagainya yang bersifat melukai
hatinya sering kali mencari kambing hitam dari semua masalah yang
dialaminya.
Berikut beberapa tulisan dari Dr. Fuji Rahmadi, MA yang mungkin dapat membukakan pikiran kita agar selalu berpikir positif:
Saudaraku...., bukannya berperasangka baik itu adalah suatu usaha untuk
melapangkan dan membersihkan hati? Sebaliknya, bukankan berperasangka
buruk itu menyesakkan dadamu? Membuat pikiranmu sibuk serta emosimu
susah untuk engkau kendalikan?
Dalam al-quran Allah berfirman :
"Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam syurga-Ku."
[ Q.S al-Fajr : 27-30 ]
[ Q.S al-Fajr : 27-30 ]
Jiwa yang tenang di atas maksudnya adalah jiwa-jiwa yang telah
dipenuhi rahmat dan petunjuk Allah, hati jiwa yang tunduk terhadap
perintah Allah. Secara ilmu tafsir, Adapun kata al-muthmainnah yang
berarti jiwa yang tenang dalam ayat tersebut merupakan ism al-fâ’il
dari al-thuma’nînah wa al-ithmi’nân. Secara bahasa, kata al-thuma’nînah
berarti as-sukûn (diam, tenang, tidak bergerak). Dijelaskan juga oleh
al-Asfahani, kata tersebut berarti as-sukûn ba’da al-inzi’âj (tenang
setelah gelisah atau cemas). Menurut at-Tunisi, kata ithma’anna
digunakan ketikahâdiran ghayra mudhtharib wa lâ munza’ij (tenang, tidak
cemas dan tidak gelisah). Kata itu juga bisa juga digunakan untuk
menunjuk ketenangan jiwa karena membenarkan apa yang dalam al-Quran
tanpa ada keraguan dan kebimbangan. Oleh karena itu, penyebutan tersebut
merupakan pujian atas jiwa tersebut. Bisa pula, ketenangan jiwa
tersebut tanpa takut dan fitnah di akhirat. Jiwa yang tenang itu jua tak
luput dari jiwa yang berperasangka baik, bersabar karenan Allah.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya :
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu
adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan
orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian
mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba
untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci,
dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah
saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya,
jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan
jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau
mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari
kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim
terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya.
Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke
rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.”
[HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482]
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata
ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan
dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang
dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak
tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan
tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda
yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek.
Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak
darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang
terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka
terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang
mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr,
berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara
yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah
terlarang untuk berburuk sangka kepadanya.
[Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219]
Saudaraku, Islam memfasilitasi umat manusia agar dapat menikmati hidup
ini dengan tenang, damai dan tanpa beban. Menikmati hidup dengan selalu
tersenyum, ringan dalam melangkah, serta memandang dunia dengan
berseri-seri. Inilah implementasi dari ajaran Islam yang memang
dirancang untuk selalu memudahkan dan menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Untuk mewujudkan hidup yang selalu tersenyum, ringan dan tanpa beban
tersebut; Islam memberikan beberapa tuntunan. Yaitu di antaranya:
menjaga keseimbangan, selalu berbaik sangka (husnuzhon), juga dengan
berpikir positif.
Secara naluriah, setiap manusia pasti merindukan perubahan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupannya.Baik secara individu, maupun sosial untuk membangun jiwa serta pikiran yang bersih. Terutama dalam menyikapi kehidupan yang sarat dengan tantangan di era globalisasi saat ini.
Secara naluriah, setiap manusia pasti merindukan perubahan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupannya.Baik secara individu, maupun sosial untuk membangun jiwa serta pikiran yang bersih. Terutama dalam menyikapi kehidupan yang sarat dengan tantangan di era globalisasi saat ini.
Banyak langkah yang ditempuh untuk membangun jiwa menuju pola pikir yang
positif dan pikiran yang bersih berdasarkan hati nurani yang fitrah.
Dimulai dengan mengubah paradigma dan meluluskan tekad dan niat yang
tulus untuk meraih perubahan. Tidak berpikiran statis (jumud), tak
angkuh, aniaya, egoisme, menjadi sosok yang berbeda, teguh dalam
prinsif, istiqomah serta ridho dalam menerima takdir Allah swt.
Upaya membangun jiwa positif dalam kajian fokus kali ini, mari kita mengambil beberapa penelitian yang membahas tema kecemasan jiwa dari sisi pandang agama Islam yang dilandasi oleh keimanan yang telah meresap dalam qalbu manusia yang hatinya mati dapat dibangkitkan dengan ketenangan dan ketenteraman jiwanya.
Upaya membangun jiwa positif dalam kajian fokus kali ini, mari kita mengambil beberapa penelitian yang membahas tema kecemasan jiwa dari sisi pandang agama Islam yang dilandasi oleh keimanan yang telah meresap dalam qalbu manusia yang hatinya mati dapat dibangkitkan dengan ketenangan dan ketenteraman jiwanya.
Ada beberapa kiat bagaimana membangun jiwa yang memiliki perasangka yang baik secara Islam yakni sebagai berikut:
Pertama, luruskan pikiran. Berdasarkan firman Allah dalam
surah Ar-Ra’du: 11, Allah menjelaskan tentang hukum perubahan dalam
kehidupan manusia. Oleh karenanya keadaan anda tidak akan berubah dari
satu kondisi selama anda belum mengenal hukum perubahan ini dengan baik.
Maka tinggal upaya anda untuk mengatasi rasa cemas atau agar terbebas
dari keresahan.Tidak akan berguna hidup anda adalah refleksi dari gaya
berpikir anda dengan kapasitas anda pula. Anda bisa sakit atau juga bisa
menikmati sehat. Kedudukan seseorang bukan penentu kebahagiaan atau
kesengsaraan seseorang. Tetapi bagaimana menyikapinya mengubah cobaan
berat menjadi sebuah karunia seperti diungkap oleh Mujtahid dan ulama
besar Ibnu Taimiyah berkata,
Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku? Tamanku dan surgaku berada
dalam dadaku. Membunuhku sama halnya dengan mati syahid. Mengasingkanku
sama dengan bertamasya, memenjarakanku sama dengan berkhalwat.
Kedua, tinggalkan sifat perfeksionisme, yaitu sifat
orang-orang yang menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan
semestinya atau berjalan dengan sekehendaknya. Sifat ini banyak
menjadikan orang stress dan gangguan jiwa berupa cemas atau
gangguan-gangguan lainnya.
Ciri-ciri sifat perfeksionisme adalah :
- Mereka tidak mau menerima kekurangan yang ada pada dirinya.
- Mereka ingin segala maksud dan tujuannya tercapai dengan mulus tanpa rintangan sesuai dengan yang diinginkan.
- Memiliki sifat hipokrit (munafik). Ada hadits Nabi Muhammad saw., yang mengandung makna demikian: “Orang yang mati syahid, orang yang berilmu, orang yang mengaku dermawan, ketiga-tiganya terlempar ke neraka lantaran lahiriahnya berjiwa malaikat, tapi karakternya berhati iblis”.
Ketiga, hilangkan rasa cemburu terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasa cemburu salah satu sebab timbulnya rasa cemas. Rasa cemburu timbul lantaran kurangnya memiliki sifat kepercayaan diri. Rasa cemburu tidak hanya menimpa pada sektor kehidupan rumah tangga saja, akan tetapi bisa dalam sector lainnya. Bisa cemburu lantaran orang tersebut kurang dihormati di masyarakat, padahal orang tersebut pintar, alim dan lainnya. Bisa cemburu lantaran kurang sukses dalam bidang ekonomi, politik, sosial, jabatan, gelar akademik dan sebagainya. Ingatlah, bahwa berpikir cemburu adalah cara berpikir yang keliru dan salah. Kita memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan yang kita miliki. Ingatlah, kebahagiaan anda bukan dari orang lain, tetapi muncul dari diri anda sendiri.
Keempat, jadilah sosok berbeda dan jadilah diri sendiri.Islam
sebagai agama kita telah menentang sifat ikut-ikutan. Islam sangat
mengagumkan dalam independensi dalam kepribadian individu. Dalam Islam
istilah ikut-ikutan dinamakan imma’iyyah, yang diambil dari kata imma’a
yang tersusun dari 2 kata yang berarti jika dan ma’a, bersama-sama. Jadi
artinya, jika orang berbuat ini, maka saya bersama mereka. Rasulullah
saw., bersabda,
“Janganlah kalian ikut-ikutan. Para sahabat bertanya: Apa arti
Imma’atan ya Rasulullah?Rasulullah saw., menjawab, “Saya bersama
orang-orang yang jika orang-orang berbuat baik, maka saya pun berbuat
baik. Jika mereka berbuat zalim, maka saya pun berbuat zalim, melainkan
aturlah dirimu sendiri,”
(HR. Turmudzi).
Sistem tarbiyah yang dilakukan Nabi Muhammad saw., kepada para
sahabatnya tak berdasarkan metode ikut-ikutan, dengan tujuan agar
menghasilkan karakter yang berbeda beda, tapi memiliki keunggulan
masing-masing. Sesuai dengan porsinya. Mari kita renungkan hadis
Rasulullah saw., yang maknanya,
“Orang yang paling penyayang kepada ummatku adalah Abu Bakar. Orang
yang paling tegas dalam urusan agama atau hukum Allah adalah Umar bin
Khotob, orang yang memiliki rasa malu adalah Utsman bin Affan, orang
yang pandai membaca Quran adalah Ubay bin Ka’ab, orang yang pandai ilmu
faroo-idl adalah Zaid bin Tsabit, orang yang paling pandai atau ‘alim
adalah Mu’adz bin Jabal. Bukankah setiap umat ini ada yang berjiwa
pemimpin? Dan orang yang memiliki jiwa ini adalah Abu Ubaidah bin
Zarrah,”
(HR. At-Tirmidzi, An Nasa’i, At- Thabarani dan Al Bayhaqqi).
Kelima, berusaha untuk menghilangkan penyakit hati.
Penyakit ini tentu bukan virus atau sejenis mikroba. Akan tetapi
penyakit ini akibat adanya kerusakan pikiran yang bersumber dari hati
manusia. Dan akibat tipisnya iman kita kepada Allah swt. Bahaya sifat
ini ditegaskan Nabi Muhammad saw.,
"Waspadalah kalian dari sifat iri, karena sifat iri itu akan memakan
kebaikan-kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar atau rerumputan
kering".
(HR. Abu Dawud).
Tantangan hidup manusia di era globalisasi saat ini berkaitan dengan
bagaimana cara membangun nilai-nilai positive thinking. Maka yang perlu
kita sikapi sebagai da’i adalah bagaimana seharusnya profil seorang da’i
yang selalu memberi pencerahan dan tausiyah kepada umat dalam membangun
masyarakat madani yang berperadaban seperti diungkap oleh Nurcholis
Madjid mengutip masyarakat yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw., di
Madinah.
Ada 5 pilar dalam membangun masyarakat madani:
- Masyarakat rabbaniyah, masyarakar religius, yang dilandasi semangat berketuhanan atau tauhidiyah.
- Masyarakat demokratis, hidup dalam suasana musyawarah dalam memecahkan persoalan kemasyarakatan atau muamalat.
- Masyarakat toleran. Masyarakat Madaniyah adalah masyarakat majemuk, plural, baik dari suku maupun agama.
- Masyarakat yang berkeadilan.
- Masyarakat yang berilmu.
walloohu a'lam,
Semoga menjadi motivasi dan renungan untuk kita semuanya.
0 comments:
Post a Comment